Tulisan ini telah dimuat di Majalah Paduan - Edisi 10 Tahun 2012. Saya tampilkan kembali di sini untuk mengenang kepergian - sang Pendekar Potehi yang meninggal dunia pada hari Rabu 20 Agustus 2014.
Tio Tiong
Gie pertahankan Potehi
Telah tiga tahun terakhir ini saya bertemu beliau dalam acara
rutin tahunan Pementasan Wayang Potehi. Pada Perayaan Tahunan Bulan
6 Imlek
– di Kelenteng Tien Kok Sie - Pasar Gede - Solo selalu diadakan Pementasan Wayang Potehi
selama 10 hari dan tiga tahun terakhir ini saya selalu hadir di sana.
Tio Tiong Gie adalah seorang Dalang Wayang Potehi
paling senior yang masih tersisa saat ini – akibat dari pemasungan Budaya
Tionghoa selama 32 tahun pada masa Orde Baru. Kini di Era Reformasi – dimana
Budaya Tionghoa tak lagi dikekang – dengan tertatih Tio Tiong Gie berusaha
bangkit kembali.
Namun Tio
Tiong Gie tak lagi muda. Usianya kini telah mendekati delapan puluh
tahun. Ia pun telah terlihat renta – walau pun raut wajahnya masih nampak tegas
menyiratkan semangatnya yang kuat. Ada
ketegaran dalam sorot matanya. Ketegaran
untuk terus mempertahankan Potehi – sebuah Seni Budaya yang
telah menyatu dengan dirinya.
Kesenian Wayang Potehi telah berumur hampir 2000
tahun. Kesenian ini telah ada sejak Tiongkok berada di bawah Pemerintahan
Dinasti Jin (245 – 420M) – dan kesenian Wayang Potehi ini berkembang
sangat pesat pada masa Pemerintahan Dinasti Sung (960 – 1279M).
Kata Potehi sendiri berasal dari kata Po
– Kain, Te – Kantong dan Hi
– Wayang. Jadi arti keseluruhannya adalah Wayang
dari Kantung Kain.
Tio Tiong Gie memang sangat piawai memainkan Wayang Potehi
ini. Ketika saya berbincang dengannya dalam satu sesi wawancara –
suaranya terdengar biasa saja. Tetapi
begitu ia duduk di bilik tempat ia memainkan Potehi-nya, dan mulai
mendalang – terdengarlah suaranya dalam Bahasa Hokkian, Indonesia dan
bahkan sedikit Bahasa Jawa yang menggelegar. Begitu mantap. Suara dari seorang Dalang yang memang telah
sangat piawai.
Malam itu ia mementaskan sebuah episode dari cerita
kepahlawanan Sin Jin Kui – sebuah cerita yang sering dipentaskan dalam Pagelaran Wayang Potehi. Memang selama 3 tahun terakhir ini – cerita Sin
Jin Kui inilah yang selalu
dipentaskannya. Cerita Sin
Jin Kui banyak digemari – tetapi episodenya sangat panjang – hingga tak
juga kunjung selesai dalam 3 tahun pementasan selama 10 hari tiap kali. Walau pun demikian – karena episodenya selalu
berbeda – hal ini tidak menjadi masalah.
Lahir di Demak pada tahun 1933, Tio Tiong Gie pada masa
kecilnya mengalami banyak penderitaan.
Pada waktu ia berusia 9 tahun – rumah keluarganya di Demak dirampok,
dijarah habis – hingga keluarganya jatuh miskin. Kemudian – mereka pun hijrah
ke Semarang.
Ketika beranjak dewasa – Tio bertemu dengan
seorang Dalang Wayang Potehi mumpuni bernama Oey
Sing Tjay – yang kemudian menjadi gurunya. Melihat bakat terpendam
dalam diri Tio – Oey melepas Tio untuk memainkan
Wayang Potehi sendiri pertama kali pada usia 25 tahun dalam pementasan di
Cianjur.
Sejak saat itu – Potehi pun menjadi bagian tak
terpisahkan dari hidup Tio. Sayang – baru 7 tahun membina
karir – Indonesia masuk dalam masa pemerintahan Rezim Orde Baru yang tanpa hati
memasung habis seluruh aspek Budaya Tionghoa di Indonesia. Namun Tio
tetap bertahan.
Tio tetap menjalani profesi sebagai Dalang Wayang Potehi
dengan segala keterbatasan dan pembatasan kala itu. Untuk bertahan
hidup – bersama isterinya alm Hoo Sian Nio dan ke 7 anak mereka – Tio membuka sebuah
bengkel las untuk menunjang ekonomi keluarga. Namun – Potehi tetap ditekuninya
sebagai bagian dari dirinya.
Tak satu –pun dari ke 7 anak Tio yang mewarisi
profesi Tio sebagai seorang Dalang Wayang Potehi. Satu-satunya harapan baginya agar Seni Potehi
ini tetap berlanjut – ia letakkan kini di pundak Asisten-nya. Namun asisten-nya
pun tak lagi muda. Karenanya Tio sempat berujar bahwa ia akan
terus main Wayang Potehi sampai mati.
Dalam bilik yang sempit – tiap kali pementasan – berjejallah
Tio dengan asisten - dan para pemain musiknya. Bagi Tio – inilah tempat - dunia yang
ditekuninya – dunia yang dicintainya – tempat ia meng-ekspresikan keseluruhan
dirinya. Kalau sudah begini – tiada hal lain apa pun yang dipikirkannya. Seluruh dirinya hanya tertuju total pada apa
yang dilakukannya saat itu. Memang
demikianlah adanya seorang seniman sejati. Seorang seniman sejati melebur dalam buah karyanya karena dirinya
telah menyatu dengan apa yang dilakukannya. Disitulah perbedaan besar antara seorang seniman
sejati dengan orang kebanyakan yang berkarya demi imbalan materi.
Penghargaan sebagai seorang Dalang Potehi piawai telah
banyak diterimanya dari berbagai kalangan. Namun – satu penghargaan besar yang
bukan berupa materi datang dari Ensiklopedia Orang-orang Tionghoa Perantauan – The
Encyclopedia of Overseas Chinese – yang mencantumkan namanya di antara
4 nama Orang Tionghoa yang dianggap berjasa besar dalam bidang Budaya.
Penghargaan ini memang bukan dalam bentuk materi – tapi ini jelas menunjukkan
penghargaan pada kualitas manusia Tio Tiong Gie – penghargaan pada
Prinsip Hidup Tio.
Usai melakukan sesi wawancara – saya pun bangkit dan
merangkapkan ke dua tangan – saya melakukan Pai – satu cara
menghormat ala Tionghoa - dari yang lebih muda kepada yang lebih tua. Dari yang lebih muda kepada yang di tua-kan.
Bunsu Tio – demikian saya memanggil
beliau. Bunsu adalah sebutan bagi seorang Pendeta Muda Agama Khong
Hu Cu dalam dialek Hokkian.
Bagi
saya – Bunsu Tio adalah sosok yang langka. Ia manusia yang memegang
Prinsip Hidup – yang tak mau tunduk pada pragmatisme sesaat. Ia seperti almarhum ayah saya – yang juga
selalu menjaga dan memegang kuat Prinsip Hidup Lurus – dan tak mau terperosok
dalam pragmatisme demi sukses materi. Tio Tiong Gie bersekolah di Sekolah
Tionghoa dan beragama Khong Hu Cu. Ayah saya berpendidikan
Belanda dan seorang Nasrani. Tapi perbedaan
itu tidaklah penting. Bagi saya – yang patut dihormati dari keduanya adalah
keduanya memegang Prinsip Hidup yang sama – Prinsip Hidup Lurus dan tak
berkelok demi pragmatisme semata.
Tak
banyak lagi sosok seperti beliau. Dan karena itulah saya sangat menghormatinya. Sebenarnya
– terutama bukan karena ia seorang Dalang Wayang Potehi Senior – tetapi
saya menghormatinya lebih karena ia sosok yang setia dan memegang teguh apa
yang diyakininya. Ia
teguh memegang Prinsip Hidupnya. Itulah Tio
Tiong Gie. Tio Tiong Gie yang terus
mempertahankan Potehi!